Dengan kondisi bangsa yang masih dalam darurat narkotika, peredaran ganja atau mariyuana di Indonesia harus tetap dilarang. Apalagi, pengguna narkotika di Indonesia sudah mencapai 5,1 juta orang dan mayoritas mereka mengkonsumsi narkotika.
Oleh karena itu, meski Komisi Obat dan Narkotika Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNODC) resmi menghapuskan ganja dari kategori narkotika, Indonesia tidak boleh melegalkan ganja.
“Kita tetap meminta pemerintah dan DPR tidak melegalkan ganja meski di level internasional sudah ada pergeseran pandangan,” kata Koordinator Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen (Pur) Ahwil Luthan dalam diskusi Kelompok Ahli yang digelar secara virtual, Jumat (23/7/2021).
Tampil sebagai pembicara utama dalam diskusi rutin Kelompok Ahli BNN adalah Brigjen (Pur) Mufti Diusnir, anggota Kelompok Ahli BNN Bidang Pencegahan.
Ahwil menilai respons yang tepat dan cepat terhadap isu legalisasi mariyuana di Tanah Air sangat penting. Jangan sampai pada amendemen UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja dilegalkan karena anggota Dewan tidak mendapatkan informasi lengkap tentang ganja dan bahaya narkotika di Indonesia. Meski 27 negara sudah menerima Keputusan UNODC dan Organisasi Kesehatan Dunia, Indonesia harus tetap menolak.
Semua kementerian dan lembaga pemerintahan serta DPR perlu berdiskusi tentang keputusan UNODC yang melegalkan ganja. Dengan pemahaman bersama, Indonesia memiliki sikap yang tegas dan jelas terhadap ganja.
Isu legalisasi ganja tidak boleh dianggap remeh karena banyak pihak yang berkepentingan untuk melegalkan ganja. Sikap internasional memberikan angin segar kepada para pendukung legalisasi ganja di Indonesia.
Komisi Obat dan Narkotika Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNODC) resmi menghapuskan ganja dari kategori obat narkotika setelah mayoritas anggota memberikan persetujuan lewat voting. Pada pertemuan anggota UNODC, 2 Desember 2020, legalisasi ganja untuk medis didukung 27 dari 53 negara anggota. Sedangkan, 25 negara menyatakan keberatan dan satu negara abstain. PBB memberikan kesempatan kepada negara anggota untuk mengintensifkan penelitian medis dan ilmu pengetahuan terhadap cannabis dan cannabis resin.
Pada 2019, Komite Ahli Independen untuk Obat-obatan (Expert Committee on Drug Dependence/ECDD) memberikan rekomendasi kepada Komite Narkotika dan Obat-Obatan (CND) PBB untuk menghapus cannabis dan cannabis resin dari Schedule IV Konvensi Narkotika 1961 dan hanya berada pada Schedule I.
Schedule IV Konvensi dibuat untuk substansi yang sangat berbahaya, tidak memiliki manfaat medis dan berisiko sangat tinggi terhadap kesehatan. Sedangkan, Schedule I dibuat untuk substansi yang dapat memiliki manfaat medis, tetapi memiliki risiko penyalahgunaan yang sangat besar.
Pada pertemuan 2 Desember 2020, CND menerima rekomendasi ECDD WHO untuk memindahkan cannabis dan cannabis resin dari Schedule IV ke Schedule I Konvensi Narkotika 1961.
Mufti menjelaskan, cannabis dan cannabis resin tetap berada di bawah kontrol ketat internasional mengingat tingginya penyalahgunaan. “Sekarang, bagaimana sikap pemerintah Indonesia?” tanya Mufti.
Para anggota Kelompok Ahli BNN sepakat bahwa ganja tidak boleh dilegalisasi di Indonesia. Jika produksi ganja dilegalkan, setiap petani di daerah yang cocok boleh menanamnya. Bila itu terjadi, peredaran ganja akan sulit dibendung. Budi daya ganja hanya boleh dilakukan oleh Kementerian Kesehatan demi kepentingan medis dan penelitian.
Pasal 39 Konvensi Narkotika 1961 mengakui kedaulatan setiap negara dalam menentukan kebijakan di bidang narkotika. Dengan demikian, pemerintah Indonesia memiliki kedaulatan penuh dalam menentukan kebijakan soal ganja.
Pemerintah Indonesia, kata Mufti, sebaiknya segera menentukan sikap tentang isu legalisasi ganja, merespons hasil keputusan CND 63. Sikap yang tegas dari pemerintah soal isu legalisasi ganja sangat penting agar para petugas tindak pidana narkotika di lapangan terbebas dari keraguan dalam bertindak. Selain itu, ketegasan pemerintah juga untuk menghindari masyarakat dari pemahaman yang salah.
Penggunaan ganja sebagai obat hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan dan itu lewat pengawasan ekstra ketat dari pemerintah. Ganja yang digunakan dalam penanganan medis juga melewati proses pengolahan yang panjang. Keputusan CND 63 pun baru sebatas legalisasi ganja untuk keperluan medis.
Sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku di Indonesia, ganja dilarang dikonsumsi dan dibudi daya. Penanaman ganja untuk keperluan medis hanya boleh dilakukan Kementerian Kesehatan.
Mutfi mengatakan, cannabis yang dapat digunakan dalam pengobatan hanya cannabis hasil budi daya rekayasa genetik. Lewat rekayasa genetik, dari cannabis bisa diperolehnya kandungan THC dalam jumlah kecil dan CBD dalam jumlah dominan.
Lagi pula, kata Mutfi, jenis cannabis di Indonesia bukan jenis yang dapat digunakan untuk pengobatan, karena kandungan THC jauh lebih besar dibandingkan kandungan CBD. Ganja lebih banyak digunakan untuk keperluan rekreasi, bukan medis atau pengobatan. “Buktinya, yang banyak beredar di Indonesia adalah ganja untuk senang-senang, bukan untuk pengobatan,” katanya.
Pada Pasal 6 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan, ganja termasuk dalam jenis narkotika golongan I,yaitu tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis. Mufti menilai, pasal ini masih perlu dipertahankan.
Meski disadari besarnya nilai ekonomi ganja, mudaratnya bagi generasi muda jauh lebih besar. Di luar negeri, permintaan akan ganja cukup tinggi dan harganya cukup bagus. Sejumlah kepala daerah serta politisi pusat dan lokal diketahui mendukung budi daya ganja untuk tujuan ekonomi. Selain menaikkan kesejahteraan rakyat, pendapatan asli daeah (PAD) juga akan terdongkrak jika produksi ganja dilegalkan.
Hasil berbagai studi dan penelitian, kata Mufti, menunjukkan, cannabis melumpuhkan sel otak manusia dan membuat manusia menjadi dungu. Dalam jangka pendek, ganja memberikan efek euforia, tetapi serentak dengan itu menyebabkan sakit jiwa. Pemakai sulit berkonsentrasi dan didera kecemasan tiada tara. Indonesia harus menyelamatkan generasi muda dari kehancuran. Dengan sel otak yang lumpuh, Indonesia akan kehilangan generasi muda berkualitas.
Jumlah penduduk Indonesia usia produktif, 15-64 tahun, melonjak dari 66,09% atau 157 juta jiwa pada 2010 menjadi 70,7% atau 191,9 juta jiwa pada 2020. Dari penduduk usia produktif sebesar itu terdapat 70,2 juta jiwa atau 25,87% usia milenial, yakni mereka yang berusia 24-39 tahun dan 75 juta generasi Z yang berusia 8-23 tahun. Penduduk usia baby boomer, 56-74 tahun, sekitar 11,56% atau 31,37 juta jiwa dan pre-baby boomer, 75 tahun ke atas, sebanyak 1,87% atau 5 juta jiwa.
Beredar Luas
Selama ini, cannabis satu atau ganja beredar luas di Indonesia. Selain ditanam di Indonesia, ganja untuk keperluan rekreasi mudah diperoleh. Konsumen ganja mendominasi jumlah pengguna narkotika di Indonesia. Tahun ini, BNN menyita 1,5 ton ganja di Bogor, Jabar. “Terbesar untuk tahun ini,” kata Mufti.
Peredaran cannabis dilakukan dengan berbagai cara. Pada 2015, beredar cookis, coklat, dan brownies berisi ganja. Barang terlarang ini juga dikemas dalam bentuk likuid dan dimasukkan ke dalam tisu basah.
Saat ini, demikian Mutfi, pengguna narkotika di Indonesia sudah mencapai 5,1 juta dan ganja menempati peringkat pertama. “Ini belum termasuk NPS yang saat ini sudah terdeteksi 83 jenis,” ujarnya.
Menempatkan ganja ke dalam Schedule I akan menambah dahsyat penyalahgunaan derivat ganja di Indonesia. Keputusan itu juga akan mendorong berbagai pihak untuk memproduksi ganja dan jika itu terjadi, pengawasan akan semakin sulit. (*/cr2)
Sumber: banten.siberindo.co